SOTO AYAM BOK IJO TAMANAN
Bagi anda pecinta kuliner nusantara, tentunya sudah tidak asing lagi
dengan satu menu yang namanya “soto”. Sebagai salah satu kuliner khas
kebanggaan Indonesia ini layak kita apresiasi dan unggulkan karena cita
rasanya yang khas dan bila perlu diadakan promosi besar-besaran agar
menu ini lebih di kenal oleh dunia dan dunia semakin mengenal jika
Indonesia juga memiliki kekayaan kuliner yang patut diperhitungkan.
Belakangan ini banyak kita dapati varian-varian baru dari soto,
tentunya memiliki karakter yang khas yang berbeda satu sama lain. Mulai
dari soto di tiap daerah yang berbeda-beda semisal soto lamongan dan
soto banjar hingga soto dengan racikan khas orang atau chef.
Bila anda salah satu pecinta soto, maka soto yang satu ini layak anda
coba nikmati yakni Soto Ayam “Bok Ijo” yang lokasinya di terminal bus
“Tamanan” Kediri. Dengan penyajian soto yang khas dan bisa ditambah
sendiri menu lauknya seperti dada, paha, sayap, kulit, uritan atau ati
rempela membuat soto ini semakin nikmat, apalagi harganya yang sangat
terjangkau namun cita rasa yang disuguhkan patut di acungi jempol,
membuat soto ini sering dijadikan rujukan makan bagi mereka pecinta
kuliner jalanan.
Lokasi yang cukup strategis yakni di area terminal bus yang terletak
di kota Kediri, membuat akses mereka yang ingin merujuk ke warung ini
semakin mudah. Jika dari Surabaya tinggal naik bus jurusan Tulung Agung
atau Trenggalek maka sudah pasti bus tersebut melewati Kediri dan
melewati terminal bus Tamanan Kediri. Maka dari itu jangan kaget kalau
di hari libur atau jam makan, warung ini selalu ramai diserbu
pengunjung.
Anda tertarik, silahkan anda coba nikmati dan nilai sendiri. Penulis
sendiri sebenarnya sudah berulang kali kesana hingga langganan tiap kali
ke Kediri, dan rasanya tidak mengecewakan. Selamat mencoba.
GETUK PISANG
atau dalam bahasa jawa lebih dikenal dengan gethuk gedang adalah salah satu makanan khas dari
kota Kediri Jawa Timur.
Olahan dari pisang ini rasanya manis legit dan dibungkus dengan daun pisang mirip lontong nasi.
Keberadaan gethuk pisang sebagai salah satu ikon kuliner
Kota Kediri telah mengguratkan riwayat tersendiri.
Meskipun belum diketahui mengenai asal-usul si manis gethuk pisang dari
Kediri ini,
namun tradisi pembuatan dan pengolahan gethuk pisang diyakini sudah
berlangsung secara turun-temurun dan diwariskan lintas generasi ampek
cucu.
Konon, gethuk pisang ini sudah populer sejak zaman Kerajaan Kadiri.
Buat teman-teman yang berkunjung ke Kediri, jangan lupa membeli gethuk pisang untuk oleh-oleh yaaaaa.
Gethuk pisang bisa dibeli di toko khusus
oleh-oleh Kediri biasanya yang banyak di jalan Dhoho,
lapak-lapak yang berjajar di tepi jalan raya maupun pedagang asongan/PKL.
Harganya pun tak mahal, cukup Rp. 5000 aja . Tergantung merk atau besar kecilnya ukuran gethuk yang dibeli.
Namun harus diingat kalau gethuk pisang ini dibuat secara alami tanpa
bahan pengawet jadi hanya bertahan emapat hari pada suhu ruangan atau
bisa bertahan tujuh sampai lima hari jika disimpan di lemari pendingin.
SATE BEKICOT
Sate bekicot juga menjadi salah satu makanan khas daerah Kediri,
meskipun tidak terletak di pusat kota ketersohoran sate bekicot khas
Kediri sudah terdengar sampai ke seluruh pelosok tanah
air.Sate
yang berbahan hewan moluska dan berlendir ini mungkin sedikit ekstrim
dan mungkin menjijikkan bagi sebagian orang.Kuliner ini terletak di desa
Jarak Plosoklaten Kab. Kediri, disana berjejer warung-warung yang
menjual olahan dari bekicot
Tetapi bila telah di masak dan diberi bumbu yang enak rasanya sangat
lezat, selain itu bekicot juga banyak mengandung protein dan di luar
negeri khususnya di Perancis bekicot jadi makanan mewah dan mahal yang
disebut
escargot.Jadi jangan meremehkan bekicot menjijikkan tetapi bila diolah dengan benar maka akan bernilai ekonomi tinggi.
Cara pengolahan bekico untuk bisa dimakan memang cukup sulit, dimulai
dari mencuci bekicot yang akan diolah kemudian merebusnya dengan air
yang di campur garam sebanyak dua kali untuk menhilangkan lendirnya,
setelah itu cangkang bekicot dihancurkan dan dibersihkan kotorannya
selesai dibersihkan bekicot dicuci lagi dan kemudian direbus
lagi.Setelah selesai bekicot baru bisa diolah jadi sate atau makanan
lainnya.
Selain sate ada juga olahan lain dari bekicot yaitu kripik bekicot, krengsengan bekicot dan
lain-lain.Jadi
jika anda sedang singgah di Kediri jangan lupa mencicipi lezat dan
gurihnya sate bekicot dan juga bisa membeli kripik bekicot sebagai
oleh-oleh.
KERUPUK UPIL KEDIRI
Kerupuk ini begitu sederhana baik dari bahan – bahan komposisinya hingga
cara pembuatannya. Rasanya yang asin dengan bentuk ukuran yang kecil –
kecil membuat kerupuk ini diidentikkan oleh anak – anak desa sebagai
upil (kotoran hidung). Hanya dengan tepung tapioka, garam dan bawang
putih, lalu diproses seperti pembuatan kerupuk pada umumnya,diuleni,
kukus, diiris dan dijemur dibawah sinar matahari. Goreng dengan
menggunakan pasir panas yang sebelumnya sudah dibersihkan membuat
kerupuk ini beda dengan jenis kerupuk yang lainnya. Cukup dicocol dengan
sambal bawang kecap, sambal petis atau bahkan sambal pecel
pedas,semakin tak bisa berhenti untuk menyantapnya
AYAM BAKAR MBOK BANGI
Ayam bakar bangi juga merupakan kuliner yang cukup terkenal rasa ayam bakar
yang terkenal dengan cita rasa yang lezat dan pedas, jadi sangat cocok
bagi anda penggemar masakan pedas.
Selain itu penggunaan ayam yang masih muda membuat ayam bakar bangi ini
tidak alot, pembakarannya pun masih tradisional dengan memakai arang
kayu dan kipas manual menjadikannya tambah sedap karena ada aroma
bakarannya yang semakenambah selera
makan.Ayam bakar bangi biasa disajikan dengan urap-urap sayur, cukup dengan harga
Rp.50000 anda bisa membeli satu ekor ayam utuh beserta urapnnya, anda juga bisa membeli satu porsi dengan harga sekitar
Rp.15000.
Nasi Pecel Tumpang Khas Kediri
Nasi Pecel Tumpang ini biasanya disajikan di atas pincuk daun pisang.
Nasi yang masih mengepul hangat, diatasnya diberi sayuran daun pepaya,
daun kenikir, daun ketela pohon, kacang panjang, buah pepaya muda dan
kecambah, lantas diguyur dengan sambal pecel dan sambal tumpang. Sambal
tumpang yang bumbunya komplit, pedas, asin, gurih berpadu dengan sambal
pecel yang berasa pedas manis. Diatasnya ditaburi lalapan rajangan
mentimun, lamtoro dan daun kemangi. Lauknya biasanya perkedel singkong,
tempe atau tahu goreng.terakir sebagai pelengkap yaitu di tambahkan
peyek.
NASI GORENG KHAS KEDIRI NGAGLIK PUNYA
Anda doyan menyantap nasi goreng (nasgor) atau mi goreng khas Kediri? Tahukah Anda dari mana ratusan pedagang nasgor yang memenuhi Jalan Dhoho dan jalan-jalan lain di sepanjang Kota Kediri itu kala malam hari? Cobalah tanya mereka, nanti akan bertemu satu kata kunci: Ngaglik.
Pukul 15.00. Matahari semakin condong ke arah barat. Ansori (38), Suratman (40) dan Fatkur (44) mulai sibuk menyiapkan dagangan. Daging ayam yang sudah direbus sejak pagi ditata rapi di gerobak dorong masing-masing. Ada kepala, sayap, paha dan dada. Juga sayuran berupa sawi hijau, kubis dan tomat. Tak lupa puluhan butir telur ayam. Barang-barang itu di-display di dalam rak kaca, di atas gerobak. Di bawahnya, ada ruang kecil untuk menyimpan nasi dan mi. Ada yang menempatkannya dalam bakul plastik besar, ada pula yang masih menggunakan bakul dari anyaman bambu.
Di bagian depan gerobak, mereka menata aneka bumbu. Ada minyak goreng yang sudah dicampur bawang tumbuk sebagai bumbu khas, garam, merica, penyedap, sambal dari cabai yang digiling atau ditumbuk, hingga kecap manis dan kecap asin.
Sementara, di sebelahnya, ada lubang untuk memasukkan dandang besar yang berisi kaldu dari rebusan daging ayam.
Bahan-bahan untuk memasak siap. Mereka lalu menata piring, sendok dan garpu di dalam laci di bagian bawah gerobak. Juga meja dan kursi untuk pembeli yang digantungkan bodi gerobak dan sebagian dinaikkan ke atap. Setelah mandi, sekitar pukul 16.30, satu per satu mulai keluar dari mulut gang kecil di dekat kompleks pabrik PT Gudang Garam (GG) tersebut.
Gang itu tanpa nama, tapi beberapa orang ada yang menyebutnya gang limas. Di sepanjang gang dengan rumah berimpitan itu, ada sekitar 30 pedagang nasgor dengan gerobak-gerobak dorong khasnya. Dan, gang tersebut bukan satu-satunya. Di banyak gang lain, bahkan pinggir jalan, banyak ditemukan gerobak-gerobak dorong serupa khas pedagang nasgor. Jumlahnya bisa mencapai ratusan.
“Ya kalau boleh dibilang, semua pedagang nasi goreng di Kota Kediri itu asalnya dari sini,” kata Fatkur yang mengaku sudah ikut berjualan nasgor sejak zaman pikulan pada 1977 saat ditemui wartawan koran ini, Sabtu (11/5).
Fatkur dan Suratman merupakan kakak-beradik. Keduanya adalah penerus ayah mereka, almarhum Abdul Manab alias Mbah Gerot. Di antara lima anak lelaki Mbah Gerot yang melanjutkan usahanya, tinggal mereka berdua yang masih bertahan hingga kini. “Dulu saya ikut kakak waktu masih zaman jualan keliling pakai pikulan,” kisah Fatkur.
Fatkur dan Suratman yang memiliki gerobak sendiri-sendiri memilih berjualan di sekitar Jl. S. Parman, Burengan. Ansori di Jl. Mayor Bismo, Semampir. Adapun teman-temannya di gang tersebut ada yang di Jl. Hayam Wuruk, Jl, Brawijaya, Jl. Dhoho, serta jalan-jalan lain di sekitarnya. “Semua menyebar,” imbuh Ansori yang sejak SD sudah sering ikut berjualan di Jl. Dhoho bersama tetangganya itu.
Khusus yang di Jl. Dhoho, para pedagang nasgor itu baru masuk di atas pukul 21.00 setelah toko-toko di sana tutup. Mereka itulah yang berdampingan dengan para pedagang lesehan nasi pecel dan tumpang. Sebelumnya, mereka berjualan menyebar di jalan-jalan kecil di sekitarnya.
Di gang limas yang tembus hingga Jl. Teuku Umar dan gang-gang lainnya, aktifitas pedagang nasgor sudah dimulai sejak pukul 06.00, bahkan lebih pagi. Padahal, mereka biasanya baru pulang berjualan di atas pukul 01.00 dini hari. Ini berarti, mereka hanya punya waktu beristirahat kurang dari lima jam sebelum beraktifitas lagi.
Para enterpreneur kaki lima itu memulainya dengan belanja kebutuhan dagangan di pasar. Terutama ayam dan sayuran berupa sawi hijau dan kubis. Untuk ayam, mereka biasanya membeli di Pasar Banjaran. “Harus ayam kampung,” kata Ansori.
Ayam itu kemudian dibawa pulang untuk disembelih dan dibersihkan bulunya. Karena banyak pedagang nasgor, ada salah seorang yang bekerja sebagai “tukang bubut” di gang tersebut. Dialah yang menerima order membersihkan ayam-ayam yang dibeli para penjual nasgor itu.
Bagi Ansori dkk, keberadaan tukang bubut itu cukup membantu. Memang, ada ongkos yang dibayar untuk setiap ekor. Tapi, itu sepadan dengan penghematan waktu yang bisa mereka dapat. Sebab, saat ayam dibersihkan, mereka bisa mengerjakan yang lain seperti membuat bumbu, membersihkan dan memotong sayuran, atau yang lain. “Kami terima sudah dalam bentuk daging,” terangnya.
Daging ayam itulah yang kemudian direbus. Biasanya dengan daun bawang agar aromanya lebih harum. Air rebusannya lantas menjadi kaldu yang digunakan untuk memasak mi atau sup. Adapun dagingnya yang telah matang ditiriskan, digunakan untuk campuran menu mereka, diiris tipis-tipis.
Ansori memperkirakan, ada sekitar 150 pedagang nasgor yang berasal dari Ngaglik. Sebagian di antaranya lantas pindah tempat tinggal. Terkadang karena menikah, terkadang karena tuntutan untuk mendekati lokasi jualannya. “Tapi, mereka tetap punya keterikatan dengan Ngaglik,” terangnya.
Keterampilan mereka memasak nasgor dan mi khas Kediri itu diperoleh secara otodidak. Ada yang dari orang tua, saudara, maupun tetangga-tetangganya. Seperti Fatkur yang merupakan keturunan Mbah Gerot. Dia justru tidak memperoleh pengetahuan mengolah nasi goreng dan mi goreng itu dari ayahnya langsung, melainkan dari kakaknya. Yaitu, dengan menjadi asistennya terlebih dulu saat masih berjualan keliling dengan pikulan. Setelah kakaknya tidak berjualan, dia yang melanjutkan.
Demikian pula Ansori, sebelum berjualan sendiri tujuh tahun terakhir, dia sempat menjadi asisten Edi Pramono, teman sekaligus tetangganya yang lebih dulu berkiprah sebagai PKL nasgor. Apalagi, sejak SD dia sudah sering ikut-ikutan membantu tetangganya berjualan hingga ke Jl. Dhoho. Sehingga, tanpa disadari, ilmu kuliner khas Kediri itu sudah meresap di buluh nadinya sejak masih kecil.
Padahal, sebelum itu, Ansori sempat bekerja di beberapa tempat. Mulai distributor makanan anak-anak hingga menjalankan armada angkutan milik keluarganya sendiri. Itu juga terjadi pada Suratman alias Pak Ndut yang sebelumnya sempat berjualan sandal.
Namun, Ngaglik sebagai kampung kuliner nasgor khas Kediri tampaknya memanggil alam bawah sadar mereka. Darah enterpreneur tangguh PKL nasgor mengalir deras di tubuhnya. Merekalah yang diakui atau tidak, ikut menggerakkan perekonomian riil Kota Kediri. Bahkan ikut membuat kota ini terkenal hingga ke luar karena kuliner nasgor dan mi goreng khasnya.
Resep Asli Kediri Berusia Seabad Lebih Sejak kapan sebenarnya kuliner nasi goreng (nasgor) dan mi goreng khas Kediri itu muncul? Tak ada yang mengetahui pasti. Namun, sejumlah sumber di Ngaglik memperkirakan sudah ada sejak zaman penjajahan.
Sardjan (75), salah satu pedagang nasgor paling senior di Ngaglik yang masih aktif hingga kini, mengaku sudah berjualan sejak 1963. Tepatnya setelah menikah dengan Rusmi (65).
Dia mengawalinya dengan menjadi asisten orang lain, yaitu almarhum Mbah Mayar. “Yang membantu Pak Mayar banyak, salah satunya saya,” kisahnya saat ditemui Radar Kediri di rumahnya, Sabtu (11/5) lalu.
Mbah Mayar adalah salah satu tokoh pedagang nasgor khas Kediri. Yang seangkatan dengannya dan namanya masih menjadi trade mark hingga kini adalah Mbah Riman alias Mbah Man.
Sardjan ikut membantu dengan membawa pikulannya keliling Kota Kediri. Dulu, dia bisa berjualan di kawasan pecinan, sekitar Jl. Pattimura dan Jl. Yos Sudarso (Kelenteng Tjoe Hwie Kiong). “Yang membantu Pak Mayar banyak, salah satunya saya,” lanjut dia.
Berbeda dengan sekarang yang menggunakan gerobak dorong, dulu para pedagang nasgor harus mengangkut dagangannya dengan pikulan. Pikulan sebelah kanan berisi blek atau kaleng bekas berisi kuah dan angklo atau tungku tanah. Sedangkan, pikulan sebelah kiri berisi daging ayam, sayuran, bumbu-bumbu, nasi, serta mi siap masak. “Dulu kuah masih disimpan di blek bekas wadah minyak goreng, bukan dandang seperti sekarang,” ungkap Sardjan.
Berat seluruh barang yang harus dipikul keliling itu sekitar 60 kilogram. Meski sudah terbiasa, diakuinya, terkadang terasa berat juga. Pada 1969, setelah memiliki anak, Sardjan mulai berjualan sendiri. Tapi, tetap dengan pikulan.
Baru sekitar 1975 dia bisa berjualan dengan gerobak dorong. Itu pun gerobak bekas jualan bubur kacang hijau dari mertuanya. “Tahun-tahun itu, rombong (gerobak dorong, Red) masih sangat jarang. Wong tahun itu untuk mencari baut kayunya saja di Kediri tidak ada,” tuturnya yang kini berjualan dengan gerobak dorongnya di depan Rumah Sakit (RS) Bhayangkara.
Baru pada 1980-an gerobak dorong bermunculan. Pikulan pun ditinggalkan karena berat. “Pakai rombong lebih praktis. Tinggal mendorong,” sambungnya. Ada tukang khusus yang bisa membuatnya.
Akan tetapi, bentuk pikulan itu masih ada yang mempertahankannya. Hanya, tidak lagi dibawa keliling.
Melainkan sekedar sebagai ‘aksesoris’ di warungnya yang telah menetap. Hal itu antara lain bisa dilihat di warung Pak Temon di kawasan ‘cemoro’ dekat kompleks pabrik PT Gudang Garam (GG) atau di warung milik Sriatun (64), di Dandangan.
Sriatun adalah keponakan Mbah Riman yang menjadi salah satu penerusnya. “Mbah Riman sendiri tidak punya anak,” ungkapnya. Dulu, Mbah Riman alias Mbah Man berjualan di Jl. Stasiun. Setelah Mbah Riman meninggal pada 1980-an, usahanya diteruskan sang istri. Tapi, sang istri memilih buka warung sendiri di rumahnya, Dandangan. Adapun yang di Jl. Stasiun diteruskan oleh orang-orang yang dulu membantunya. “Setelah Mbah Riman putri meninggal, ganti saya sekarang yang melanjutkan,” lanjutnya.
TRADISIONAL: Sriatun, penerus Mbah Riman, yang mempertahankan pikulan di warung nasi/mi gorengnya di Dandangan.
Mbah Riman atau Mbah Mawar sudah berjualan nasi goreng sejak 1950-an. Namun, keduanya bukanlah tokoh yang ‘babat’ usaha kuliner nasi dan mi goreng khas Kediri. Mereka juga belajar dari orang lain. “Pak Riman pendatang yang belajar ke mbah saya, Mbah Kusnadi. Mbah saya dulu punya banyak pikulan yang dijalankan orang lain, salah satunya Pak Riman,” tutur Sriatun.
Ini dibenarkan oleh Edi Pramono, anak Mbah Mayar, yang kini juga berjualan nasgor di belakang Hotel Penataran. Menurut dia, ayahnya bukanlah generasi awal kuliner nasi goreng khas Kediri. “Dulu, bapak belajar dari mbah saya, Mbah Urip dan Mbah Singokarso. Bersama pakde saya, Pak Moyong,” jelas warga Ngaglik ini.
Padahal, lanjut Edi, ayahnya sendiri konon kelahiran 1912. “Nah, dari mana mbah saya itu belajar, saya sudah tidak tahu. Tapi, yang jelas, sejak zaman penjajahan Belanda maupun Jepang, ayah dan mbah saya sudah jualan nasi goreng,” lanjut dia.
Panijan (75), warga Ngaglik lainnya, membenarkan hal itu. sebab, dia pernah ikut jualan bersama Mbah Moyong pada 1940-an. Tepatnya saat agresi militer Belanda ke Indonesia. “Saya ditembaki Belanda itu ya waktu ikut jualan di Pasar Pagu bersama Pak Moyong,” kisahnya.
Sepanjang waktu tersebut, setahu Panijan, resep khas nasi dan mi goreng itu ya berasal dari orang-orang Kediri sendiri seperti Mbah Mayar atau Mbah Moyong dan generasi sebelumnya. Bukan dari resep Tiongkok, misalnya, yang juga terkenal dengan aneka olahan mi-nya. “Seumur hidup saya, yang namanya nasi goreng dan mi goreng Kediri itu bumbunya ya begini ini,” tandasnya saat ditemui di tempat jualan Edi. Ya, resep yang boleh jadi sudah berusia lebih dari seabad hingga sekarang. Resep asli Kediri!
Dulu kalau Mau Tambah Telur Harus ‘Nggegem’ Sendiri Bagi orang luar, sangat jelas perbedaan nasi/mi goreng Kediri dengan menu serupa dari daerah lain. Coba saja lihat dari tungkunya. Hingga kini, para penjualnya tetap mempertahankan tungku dari tanah liat dengan bahan bakar arang. Bukan kompor minyak atau kompor gas.
Arang di atas tungku itulah yang dikipasi dengan kipas tradisional dari anyaman bambu. Meskipun, sejak beberapa tahun lalu, banyak yang beralih ke kipas elektrik hasil modifikasi sendiri. Memasaknya juga satu-satu, tidak massal. “Sekali masak hanya untuk satu porsi,” jelas Ansori (38), pedagang nasgor asal ‘gang limas’ Ngaglik.
Makanya, jika ada pesanan delapan porsi sekaligus, berarti harus delapan kali memasak. Tapi, justru itu yang menjadi salah satu kunci kelezatan kuliner khas Kediri ini. Sebab, dengan sekali masak untuk satu porsi, menu yang disajikan selalu fresh. Takaran bumbunya pun selalu pas. Bahan bakar arang juga membuat aromanya khas.
Cara pembuatan bumbunya pun berbeda. Mungkin, dengan menu daerah lain, sama-sama menggunakan bawangnya. Akan tetapi, untuk nasi/mi goreng Kediri, bawangnya tidak digeprek langsung. Melainkan, ditumbuk lalu dicampurkan ke dalam minyak goreng. Minyak yang mengeluarkan bau harum itulah yang kemudian digunakan memasak. “Bawangnya jangan diblender atau digiling. Baunya akan hilang,” beber Fatkur (44).
Dan, ini yang membuat tampilan nasi goreng Kediri berbeda dengan yang lain. Yakni, tidak menggunakan saus tomat, melainkan kecap manis. Itu pun hanya sedikit -meski belakangan ada pula yang menggunakan takaran lebih banyak sesuai selera. Makanya, warnanya tidak merah, melainkan kecokelatan.
Sementara, mi-nya merupakan mi gepeng berukuran besar-besar. Bukan mi keriting. Mi itu diproduksi oleh pabrik di Kota Kediri sendiri. “Kalau saya ke Kediri, yang paling saya rindukan ya nasi goreng dan mi-nya,” aku Abdul Aziz (40), pengusaha asal Blitar, yang ditemui wartawan koran ini dini hari, pekan lalu. Bersama teman-temanya dari berbagai kota, jika sedang ke Kediri, dia sering mampir Jl. Dhoho untuk menikmati kuliner tersebut. Tak jarang dia memesan dua porsi sekaligus seperti dini hari itu.
TUNGKU ARANG: Ansori memasak nasgor pesanan
Sardjan (75), menuturkan, tak banyak perubahan dari nasi dan mi goreng Kediri sejak pertama kali dia berjualan pada 1960-an. Bumbu utamanya tetap sama. Yang berubah hanya modifikasinya. Salah satunya soal telur. “Sampai 1980-an, jarang yang menggunakan telur,” tuturnya.
Maklum, hingga dekade itu, telur masih menjadi barang mewah bagi orang kebanyakan. Hanya orang mampu yang bisa mengonsumsinya. “Dulu, kalau mau tambah telur ya bawa sendiri. Biasanya ya orang-orang China itu. Telurnya digegem (digenggam, Red), terus diserahkan ke saya untuk ikut dimasak,” kisah Sardjan.
Lalu, apa gantinya telur untuk pesanan yang ‘standar’? Ayah tujuh anak dan kakek sembilan cucu ini menyebut perkedel. Tapi, bukan perkedel kentang, melainkan perkedel ketela. Bukan untuk lauk, melainkan untuk diiris-iris, lalu dicampurkan ke dalam mi atau sup sebagai campuran bumbu. “Gurihnya dari perkedel itu,” bebernya.
Tak Lekang dengan Regenerasi Alamiah Sebagai kuliner khas yang sudah tahan uji, usia bisnis nasi/mi goreng Kediri yang termasuk kelompok usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) ini masih sangat panjang. Apalagi melihat gairah generasi muda di Lingkungan Ngaglik, Dandangan yang tak pernah sepi dari bisnis ini.
Tokoh-tokoh seniornya pun sudah mendidik keturunannya hingga usaha itu terus berkembang dan berkelanjutan. Bahkan, banyak di antara mereka yang kemudian mendirikan cabang di luar kota dan luar pulau dengan label: Nasi/Mi Goreng Khas Kediri.
SENIOR: Sardjan dengan gerobak dorongnya
Seperti Sardjan (75), dari keenam anaknya yang masih hidup (seorang meninggal, Red), ada tiga yang membuka usaha serupa. “Satu di Katang (Kediri, Red), satu di Surabaya, satu lagi di Sumatra,” ungkapnya. Ketiga anaknya itu menggunakan resep serupa dari Sardjan. Seorang lagi memilih berjualan mi pangsit, berbeda dengan ayahnya.
Hal serupa dilakukan Sriatun (64), penerus nasgor Mbah Riman. Anak perempuannya membuka cabang di Malang. “Ramai juga di sana, bahkan lebih ramai daripada di sini,” katanya. Sebagian bumbu dan bahannya diambil langsung dari Kediri. Termasuk, mi gepeng berukuran besar yang memang diproduksi di Kediri. Mi itulah yang khas pada mi goreng Kediri. “Kalau pulang sampai harus bawa mobil boks untuk kulakan mi-nya,” ucap Sriatun bangga.
Sriatun memang pantas berbangga. Anaknya yang mantan vokalis band Kediri itu sebenarnya juga sudah bekerja di bank. Akan tetapi, justru dari usaha kuliner warisan tersebut ekonominya berputar lebih cepat. “Katanya, dari mana bisa beli mobil kalau tidak jualan nasi goreng,” tuturnya.
Memang, dengan ratusan pedagang mi/nasi goreng di Ngaglik, Dandangan, omset yang berputar dari usaha itu bisa mencapai puluhan juta semalam. Mereka ikut menggerakkan roda perekonomian di sekitarnya. Mulai dari pedagang sayuran, pedagang telur, hingga pedagang ayam.
Beberapa pebisnis besar yang jeli, ikut menggandeng mereka. Misalnya untuk minumannya. Maklum, jika semalam satu pedagang bisa menghabiskan satu krat saja, sudah ratusan krat minuman terjual tiap malam. “Padahal, ada yang bisa habis sepuluh krat semalam,” ungkap Fatkur.
Dengan potensi yang sedemikian besar, sebenarnya Fatkur dan banyak pedagang lain berharap, pemerintah mempunyai program nyata untuk mereka. Salah satunya menyediakan tempat khusus untuk sentra kuliner nasi/mi goreng Kediri. “Seperti soto ayam buk ijo di terminal itu,” harapnya.